Senin, 25 Januari 2010



E. Tjitra dkk dari Pusat Penelitian Pe­nya­kit Menular, Departemen Kesehatan RI menemukan, etiologi terbanyak dari 168 pasien fluor albus yang datang ber­obat ke Puskesmas Cempaka Putih Barat I, Jakarta tahun 1988/1989 adalah kan­di­diasis sebesar 52,8%. Sisanya adalah trikomoniasis 3,7%, infeksi campuran tri­komoniasis dan kandidiasis 4,3%, gonorrhoe 1,2%, dan bakterial vaginosis 38%.
Penelitian itu juga melaporkan bahwa dari 18 ibu hamil dan 25 ibu tidak hamil dan tidak ber-KB yang mengalami fluor albus, sebagian besarnya terinfeksi kandidiasis yaitu 66,7% dan 48%. Se­men­ta­ra itu, pada 77 akseptor KB AKDR dan 30 akseptor KB hormonal yang meng­alami fluor albus, sebagian besar juga ter­in­fek­si kandidiasis yakni 54,6% dan 53,3%. Melihat hasil survei tersebut, tak meng­he­rankan kasus kandidiasis sering ditemukan di poliklinik kesehatan ibu dan anak atau poliklinik kebidanan.
Kandidiasis vulvovaginal (KVV) tidak di­­golongkan dalam infeksi menular seksual karena jamur Candida merupakan or­ganisme komensal pada traktus genitalia dan intestinal wanita. Selain itu, pada ke­nyataannya KVV juga ditemukan pada wa­ni­ta yang hidup selibat (biarawati). Akan tetapi, kejadian KVV dapat dikaitkan de­ngan aktivitas seksual. Frekuensi KVV me­ningkat sejak wanita yang bersangkut­an mulai melakukan aktivitas seksual.
Candida sp
KVV adalah infeksi vulva dan vagina yang disebabkan oleh Candida sp. Se­ki­tar 85-90% sel ragi yang diisolasi dari va­gina merupakan spesies Candida albicans. Sisanya adalah spesies non-albicans, dan yang terbanyak adalah Candida glabrata (Torulopsis glabrata). Vaginitis yang disebabkan oleh spesies non-albicans biasanya resisten terhadap terapi konvensional.
Candida sp adalah jamur sel tunggal, berbentuk bulat sampai oval. Jumlahnya sekitar 80 spesies dan 17 diantaranya di­temukan pada manusia. Dari semua spesies yang ditemukan pada manusia, C.al­bi­cans-lah yang paling pathogen. Candida sp memperbanyak diri dengan membentuk blastospora (budding cell). Blastos­pora akan saling bersambung dan ber­tam­bah panjang sehingga membentuk pseu­­dohifa. Bentuk pseudohifa lebih vi­rulen dan in­va­sif daripada spora. Hal itu dikarenakan pseudohifa berukuran lebih besar sehingga lebih sulit difagositosis oleh makrofag. Selain itu, pseudohifa mempunyai titik-titik blastokonidia multipel pada satu filamennya sehingga jumlah elemen infeksius yang ada lebih be­sar.
Faktor virulensi lain pada Candida ada­lah dinding sel. Dinding sel Candida sp mengandung turunan mannoprotein yang bersifat imunosupresif sehingga mempertinggi pertahanan jamur terhadap imunitas pejamu, dan proteinase aspartil yang menyebabkan Candida sp dapat mela­ku­kan penetrasi ke lapisan mukosa.
Dalam menghadapi invasi dari Can­di­da, tubuh mengerahkan sel fagosit untuk mengeliminasinya. Interferon (IFN)-gam­ma akan memblok proses transformasi dari bentuk spora menjadi hifa. Maka bi­sa disimpulkan, pada seorang wanita de­ngan defek imunitas humoral, Candida le­bih mudah membentuk diri menjadi hifa yang lebih virulen dan mudah menimbul­kan vaginitis.
Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi terja­di­nya KVV diantaranya adalah kehamilan (trimester ketiga), kontrasepsi, diabetes melitus, antibiotik (terutama spektrum luas seperti tetrasiklin, ampisilin, dan se­fa­losporin oral), menggunakan pakaian ke­tat dan terbuat dari nilon.
Selama kehamilan, vagina menunjuk­kan peningkatan kerentanan terhadap in­fek­si CandidaCan­dida pada sel epitel vagina dan se­ca­ra langsung meningkatkan virulensi ragi. sehingga prevalensi ko­lo­ni­sasi vagina dan vaginitis simtomatik me­ningkat, khusunya trimester ketiga. Di­du­ga estrogen meningkatkan perlekatan
Timbulnya kandidiasis sering terjadi se­­lama pemakaian antibiotik oral siste­mik khususnya spektrum lebar seperti te­t­rasiklin, ampisilin, dan sefalosporin ka­rena flora bakteri vagina normal yang ber­sifat protektif seperti Lactobacillus juga tereliminasi.
Pakaian ketat ditambah dengan ce­la­na dalam nilon meningkatkan kelembab­an dan suhu di daerah perineal sehingga mempermudah tumbuh kembang jamur. C.albicans dapat tumbuh pada variasi pH yang luas. Pertumbuhannya akan lebih baik pada pH 4,5-6,5, suhu 28-37oC.
Patofisiologi
Proses infeksi dimulai dengan perle­katan Candida sp. pada sel epitel vagina. Kemampuan melekat ini lebih baik pada C.albicans daripada spesies Candida lain­­nya. Kemudian, Candida sp. men­se­kre­­sikan enzim proteolitik yang mengakibatkan kerusakan ikatan-ikatan protein sel pejamu sehingga memudahkan proses invasi. Selain itu, Candida sp. juga me­ngeluarkan mikotoksin –diantaranya glio­toksin– yang mampu menghambat ak­tivi­tas fagositosis dan menekan sistem imun lokal. Terbentuknya kolonisasi Can­di­da sp. memudahkan proses invasi ter­sebut berlangsung sehingga menimbul­kan gejala pada pejamu.
Interaksi Imunologi
Koloni Candida akan meningkatkan be­ban antigenik yang selanjutnya menimbulkan peralihan dari tipe Th1 menjadi Th2. Transformasi yang dominan ke Th2 justru menghambat proteksi dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas segera (tipe 1). Lebih lanjut, reaksi proteksi lokal imunitas selular pada mukosa vagina dapat berkurang atau hilang bersamaan dengan meningkatnya reaksi alergi.
Interleukin(IL)-1 memicu Th1 untuk memproduksi IL-2. IL-2 akan merangsang pembentukan Th1 lebih banyak. Th1 memproduksi IFN-gamma yang berfungsi menghambat pembentukan germ tube. Reaksi hipersensitivitas tipe 1 berhu­bung­an dengan reaktivitas Th2, yang menghasilkan IL-4 dan meningkatkan produski IgE melalui sel B serta lepasnya PGE2. PGE2 selanjutnya menghambat pro­liferasi dan produksi dari IL-2. Maka dari itu, adanya PGE2 akan menghambat ke­mampuan proteksi mukosa vagina ter­ha­dap Candida. Selain itu, PGE2 juga meng­hambat aktivitas makrofag. Dengan kata lain, PGE2 merupakan down regulatory biological response modifier.
Sekitar 71% sekret vagina penderita kandidiasis vulvovagina rekurens (KVVR) dapat ditemukan IgE dan PGE2 sehingga reaksi hipersensitivitas tipe I membe­ri­kan respons yang akan merangsang terbentuknya IgE dan meningkatkan virulensi jamur melalui pembentukan germ tube atau melalui supresi pertahanan lokal pe­jamu. Di samping itu, reaksi hipersensitivitas tipe I menimbulkan tanda dan ge­ja­la kandidosis vaginal seperti kemerahan, gatal, terbakar dan bengkak.
Dalam dinding sel Candida terdapat bahan polidispersi yang mempunyai berat molekul tinggi yang menginduksi prolife­ra­si limfosit, produksi IL-2 dan IFN-gama, serta membangkitkan perlawanan sito­tok­sik sel NK. MP65 yang terdapat di da­lam dinding sel C. albicans merupakan an­­tigen yang imunodominan untuk res­pons imunitas selular pada manusia normal dan mampu menstimulir produksi IL-1b, IFN-g, serta IL-6.
Kandidiasis Vulvovagina Rekurens
Sekitar 30–40% dari pasien KVV akan mengalami infeksi ulang untuk kedua ka­li­nya dan kurang lebih 5% KVV akan menjadi kandidosis vulvovagina rekurens (KVVR).Definisi KVVR adalah 4 atau lebih episode infeksi kandidiasis selama 12 bu­lan/1 tahun. KVVR merupakan bentuk dari KVV komplikasi.
KVVR, menurut Sobel & Fidel, dibagi men­jadi 3 kelompok yaitu 1) kelompok de­ngan jumlah mikroorganisme yang ba­nyak (KOH+, kultur kuantitatif tinggi) yang didominasi oleh bentuk hifa, disertai tan­da dan gejala yang khas, baik pada dae­rah vagina maupun vulva; 2) kelompok yang jumlah organismenya cukup banyak (KOH +), tetapi gejala dan tanda terbatas pada daerah vagina saja; 3) kelompok de­ngan jumlah mikroorganisme sedikit, te­tapi gejala dan tanda cukup jelas.
Perbedaan ketiga kelompok diatas ju­ga terletak pada respon imunitas selular­nya. Pada kelompok pertama, respon se­lu­lar lokal berkurang (reaktivitas Th1 ber­ku­rang), sedangkan reaksi hipersensitivitas tipe 1 meningkat (reaktivitas Th2 me­ningkat). Sementara itu, pada kelompok kedua, reaktivitas Th1 menurun, te­ta­pi reak­tivitas Th2 tidak ada atau hanya se­di­kit. Kelompok terakhir, respon selular be­rupa Th0 (T helper naïf) yang merupa­kan bentuk awal respon sebelum ber­ubah menjadi Th1 atau Th2.
Diagnosis
Tidak ada gejala dan tanda klinis yang spesifik untuk menegakkan diagnosis KVV. Gejala yang sering terjadi adalah ga­tal (pruritus) dan duh vagina. Karak­te­ris­tik duh vagina seperti keju lunak berwarna putih susu, mungkin bergumpal, dan tidak berbau. Rasa nyeri pada vagina, iritasi dan sensasi terbakar pada vulva, dispareuni, serta disuria juga dapat di­ke­luhkan.
Pada inspeksi, dapat dilihat labia dan vulva eritem dan membengkak disertai lesi pustulopapular diskret di bagian tepi. Melalui spekulum, serviks terlihat normal sedangkan epitel vagina tampak eritem disertai duh keputihan dan terdapat lesi satelit. Infeksi dapat menjalar ke daerah inguinal dan perianal.
Balanopostitis terjadi pada pria yang berhubungan seksual dengan wanita yang terinfeksi. Gejalanya berupa keme­rah­an, gatal, dan sensasi terbakar pada penis. Gejala pada pria tersebut biasanya bersifat sembuh sendiri (self-limiting).

Tidak ada komentar: